Minggu, 18 Oktober 2015

Upacara Adat Potong Gigi di Bali mendewasakan remaja di Bali





ASSALAMUALAIKUM WR WB

Kita tahu bahwa Pulau Bali sudah dikenal oleh banyak orang sob. maka nya saya suka mengexplor budaya adat di Bali dan menampilkan blog tentang budaya bali. sekarang saya akan memberitahu tentang Upacara Potong Gigi di bali ini
SILAHKAN DI SIMAK INI GRATIS BAGI UMUM :) CEKIDOT SOBB
Upacara potong gigi di Bali, adalah salah satu rangkaian kegiatan upacara untuk “manusa yadnya” (Upacara keagamaan untuk manusia). Disebut juga Mepandes/Metatah/mesangih, dan boleh dilaksanakan pada anak yang sudah menginjak dewasa. Dalam kepercayaan agama hindu, helatan ini bertujuan untuk mengendalikan 6 sifat buruk yang ada dalam manusia yang dikenal dengan Sad Ripu, antara lain: Hawa nafsu, Rakus/Tamak/keserakahan, Angkara murka/kemarahan, Mabuk membutakan pikiran, Perasaan bingung, dan Iri hati/ dengki.
alam pelaksanaanya, upacara potong gigi di Bali tidak seserem namanya, Potong Gigi bukan berarti giginya dipotong melainkan hanya dikikir rata, 6 deretan gigi atas termasuk taring, sebagai simbol pembersihan sifat-sifat buruk yang dijelaskan diatas. Pada umumnya acara unik ini dirangkaikan dengan upacara keagamaan lainya seperti Ngaben atau Pernikahan. Dan biasanya dilaksanakan secara bersama-sama dengan sanak keluarga yang sudah menginjak dewasa dan yang belum pernah melakukan upacara ini tentunya.
Sesungguhnya upacara potong gigi di Bali merupakan kewajiban dari orang tua kepada anak-anaknya, karena maknanya adalah sudah sepantasnya orang tua memberikan petuah yang baik agar sifat-sifat jelek yang ada pada anak-anaknya bisa dikendalikan. Salah satu pantangan untuk mengikuti acara ini adalah wanita yang sedang hamil. Dan dalam kesempatan tertentu upacara ini bisa dilaksanakan secara massal. (bersama-sama dalam satu desa).

Rangkaian Upacara Potong Gigi di Bali :

  • Setelah sulinggih ngarga tirta,mereresik dan mapiuning di Sangah Surya,maka mereka yang akan mepandes dilukat dengan padudusan madya,setelah itu mereka memuja Hyang raitya untuk memohon keselamatan dalam melaksanakan upacara.
  • Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia yaitu meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.
  • Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambing keharmonisan,mengetukkan linggis tiga kali (Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu.
  • Selama mepandes,air kumur dibuang di sebuah nyuh gading afar tidak menimbulkan keletehan.
  • Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
  •  Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana.Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana,yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan,selalu berpegang pada ajaran agama Hindu,mempunyai pandangan luas,dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma.Secara simbolis ketika mepadamel,dilakukan sebagai berikut :
    • Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar Semaradhana tersebut).
    • Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
    • Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa jehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan,rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan,rasa sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku,rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan,selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri,dan rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan,berpandangan luas,disiplin,serta enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.
  •  Natab banten,tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan melaksanakan upacara dapat tercapai.
  • Metapak, mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai menajdi dewasa secara spiritual sudah selesai,makna lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan baik,serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua,juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh kehidupan di masa datang.
Demikian Tentang potong gigi di bali. TERIMA KASIH TELANG MENGUNJUNGI BLOG SAYA.

 ASSLAMUALAIKUM WR.WB

Senin, 12 Oktober 2015

UPACARA KEMATIAN KHAS PROVINSI BALI




ASSALAMUALAIKUM WR WB

siapa yang pernah berwisata di Bali??? tapi ada yang sebagian belum pernah,semoga tahun selajutnya bisa berwisata di kota yang penuh dengan pelancong asing.
tapi saya mau tanya yang pernah berkunjung di Bali, apakah kalian pernah melihat prosesi upacara sakral Ngaben. pasti kalian sangat beruntung jika dapat melihat prosesi kematian tersebut.Karena apa kita tidak tahu kapan sesorang menghadap ke Tuhan Yang Maha Esa.
NGABEN merupakan salah satu upacara kematian agama hindu di bali yang terkenal ke-sakralan.
Upacara Ngaben yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka
Bentuk-bentuk Upacara Ngaben
Ngaben Sawa Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
Ngaben Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.

Ngelungah
Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
Warak Kruron
Warak Kruron adalah upacara untuk bayi yang keguguran.
Tujuan Upacara Ngaben
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
Rangkaian Upacara Ngaben
Acara     Deskripsi
Ngulapin  = Upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
Nyiramin/NgemandusinUpacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).
Ngajum Kajang Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.

Ngelungah
Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
Warak Kruron
Warak Kruron adalah upacara untuk bayi yang keguguran.

Tujuan Upacara Ngaben
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.

Rangkaian Upacara Ngaben
Acara
Deskripsi
Ngulapin
Upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
Nyiramin/Ngemandusin
Upacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).
Ngajum Kajang
Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
Gambar Kajang Pande
Ngaskara
Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
Mameras
Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
Papegatan
Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
Pakiriman Ngutang
Setelah upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna:
Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat.
Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
Sarana Pengusungan Jenazah
Ngeseng
Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
Nganyud
Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
Makelud
Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan.

Demikian yang dapat saya sampaikan Sob, tentang Upacara Kematian Ngaben di bali.

WASSALAMUALAIKUM WR WB

JAM GADANG ,MENARA JAM KHAS BUKITTINGGI SUMATERA BARAT





saat berwisata di provinsi sumatera barat atau disekitarnya kurang lengkap jika tidak berwisata tepatnya di Kota bukittinggi.Yap, kota bukittinggi sudah dikenal masyarakat karena tempat kelahiran pahlawan berjasa kita Mohammad Hatta
Disaat jalan-jalan mengelilingi kota bukittinggi kita akan disuguhkan pemandangan menara jam besar yang terkenal akan sisi keindahan dan sejarahnya.
Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
letak dari menara jam besar ini di Kelurahan Benteng Pasar Atas, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat dan akan terlihat dari arah Pasar Ateh atau arah timur kota Bukittinggi
Pasti kalian semua bertanya-tanya siapa sih perancang arsitektur jam gadang ini. Jam Gadang ini di desain/ dirancang arsitekturnya oleh Yazid Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh dan selsai dibangun pada tahun 1926.
Biaya pembangunan menara jam penanda kota bukittinggi ini menelan biaya sekitar 3.000 Gulden. Didedikasikan untuk Sekretaris Fort de Kock (sekarang kota Bukittinggi),Jam Gadang ini pernah di renovasi pada tahun 2010
Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
Tinggi 26 meter (85 kaki) dan material dari bangunan khas ini berupa Kapur, putih telur, pasir putih sangat terlihat kokoh dilihat dari sudut bangunan ini.
Selain sebagai pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai objek wisata dengan diperluasnya taman di sekitar menara jam ini pada tahun 2010 .Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik di hari kerja maupun di hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sekitar taman dekat menara jam ini.

Struktur
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat gempa pada tahun 2007.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih.
Sejarah
Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010.
Demikianlah hasil ulasan tentang JAM GADANG (MENARA JAM penanda Kota Bukittinggi)